Rabu, 26 Oktober 2011

Susu Pasteurisasi dan Penerapan HACCP

Susu merupakan salah satu pangan yang tinggi kandungan gizinya, bila ditinjau dari kandungan protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin. Dalam memenuhi kebutuhan protein, terutama pada kasus penderita gizi buruk, susu merupakan pilihan pertama.  Sehingga ketersediaan susu perlu diperhatikan untuk memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Akan tetapi, susu juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Usaha memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan usaha meningkatkan kualitas dan keamanan produk susu, karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu pangan tidak akan ada artinya apabila pangan tersebut berbahaya bagi kesehatan. Untuk Indonesia, sebaiknya susu yang berkualitas dan cukup aman bagi konsumen memenuhi persyaratan yang tertuang dalam SNI susu segar (BSN, 1996) dan SNI pengujian susu segar (BSN, 1998a)
Tujuan pasteurisasi adalah menghilangkan mikroba patogen yang membahayakan kesehatan manusia tanpa merubah rasa, konsistensi dan kandungan nutrisi susu. Penerapan jaminan mutu seperti HACCP akan dapat menghasilkan susu pasteurisasi yang lebih bermutu dan lebih aman bagi konsumen. Sebaiknya HACCP perlu diterapkan pada proses pembuatan susu pasteurisasi, dan sebaiknya dimulai secara bertahap. Pasteurisasi merupakan salah satu usaha memperpanjang daya tahan susu, mencari bentuk lain dari susu segar, dan dapat juga ditambah dengan aroma tertentu serta dikemas dalam kemasan yang menarik. Pasteurisasi merupakan salah satu cara pengolahan susu dengan cara pemanasan untuk mempertahankan mutu dan keamanan susu. Susu pasteurisasi siap minum diminati oleh konsumen. Susu pasteurisasi merupakan bentuk lain dari susu segar dan merupakan salah satu cara untuk memperpanjang daya tahan susu segar (RENNIE, 1989). Jaminan kualitas dan keamanan pada susu pasteurisasi diharapkan akan dapat meningkatkan konsumsi susu secara umum, dan secara tak langsung akan mendorong upaya peningkatan produksi susu. Peningkatan konsumsi susu yang diharapkan adalah peningkatan konsumsi susu segar atau susu murni, bukan susu bubuk dalam kaleng.

Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Dengan Transfer Embrio

Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah.
Penerapan teknologi transfer embrio (TE) atau alih janin merupakan alternatif untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi secara cepat. Teknologi TE pada sapi merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Pada prinsipnya teknik TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari ternak sapi donor, dikoleksi dan dievaluasi, kemudian ditransfer ke induk sapi resipien sampai terjadi kelahiran.
MANFAAT DAN KEUNGGULAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO
Teknologi IB telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1953 untuk meningkatkan populasi ternak sapi. Dalam usaha mempercepat peningkatan populasi dan mutu genetik sapi, maka perlu dicari metode lain yang lebih baik dan lebih cepat untuk mendukung tujuan penerapan teknologi IB. TE merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan dalam usaha meningkatkan mutu genetik dan populasi ternak sapi di Indonesia. Adapun manfaat teknologi transfer embrio adalah:
Meningkatkan mutu genetik ternak.
Mempercepat peningkatan populasi ternak.
Berpotensi mencegah berjangkitnya penyakit hewan menular yang ditularkan lewat saluran kelamin.
Mempercepat pengenalan material genetik baru lewat ekspor embrio beku.
Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan inseminasi buatan adalah:
1. Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan dengan teknologi TE,
sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul.
2. Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang tinggi (purebred) dengan TE
jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam.
3. Dengan teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20 – 30 ekor pedet unggul per
tahun, sedangkan dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet per tahun.
4. Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan mentransfer setiap tanduk
uterus (cornua uteri) dengan satu embrio.
PROSEDUR PELAKSANAAN
Keberhasilan program TE dipengaruhi oleh kondisi sapi donor, sapi resipien, kualitas embrio yang dihasilkan dan pelaksanaan TE dari donor ke resipien.
1. Seleksi Sapi Donor dan Sapi Resipien
Sapi yang digunakan sebagai ternak donor harus mempunyai kriteria :
1. Memiliki genetik unggul
2. Memiliki kemampuan reproduksi
3. Keturunannya memiliki nilai pasar
Sapi yang digunakan untuk resipien sebaiknya mempunyai umur yang masih muda terutama sapi dara (belum pernah bunting). Sapi resipien tidak harus mempunyai mutu genetik yang baik dan berasal dari bangsa yang sama, tetapi harus mempunyai organ dan siklus reproduksi normal, tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan (distokia), sehat serta bebas dari infeksi saluran kelamin.
2. Super Ovulasi
Sapi merupakan ternak uniparous, dimana sel telur yang terovulasi setiap siklus berahi biasanya hanya satu buah. Dalam program TE, untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan meningkatkan perkem-bangan folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan pematangan folikel sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih banyak.
Hormon FSH mempunyai waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2 – 5 jam. Pemberian FSH dilakukan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari dengan dosis 28 – 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah berahi.
3. Penyerentakan Berahi
Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormon prostaglandin F2a (PGF2a ) atau kombinasi hormon progesteron dengan PGF2a . Prosedur yang digunakan adalah :
1. Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a satu kali. Berahi
biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
2. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali selang waktu 11-12
hari.
Penyuntikan PGF2a pada ternak resipien harus dilakukan satu hari lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karena pada ternak donor yang telah diberi hormon gonadotropin, berahi biasanya lebih cepat yaitu 36 – 60 jam setelah penyuntikan PGF2a , sedangkan pada resipien berahi biasanya timbul 48 – 96 jam setelah penyuntikan PGF2a .
4. Inseminasi Buatan
IB yang baik dilaksanakan 6 sampai 24 jam setelah timbulnya berahi. Berahi pada sapi ditandai oleh alat kelamin luar (vagina)berwarna merah, bengkak dan keluarnya lendir jernih serta tingkah laku sapi yang menaiki sapi lain atau diam apabila dinaiki sapi lain. Pada program TE, IB dilakukan dengan dosis ganda dimana satu straw semen beku biasanya mengandung 30 juta spermatozoa unggul.
5. Koleksi dan Transfer embrio
Koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke 7 sampai 8 setelah berahi. Sebelum dilakukan panen embrio, bagian vulva dan vagina dibersihkan dan disterilkan dengan menggunakan kapas yang mengandung alkohol 70%. Koleksi embrio dilakukan dengan menggunakan foley kateter dua jalur 16-20G steril (tergantung ukuran serviks). Pembilasan dilakukan dengan memasukkan medium flushing Modified Dulbecco’s Phosphate Buffered Saline (M-PBS) yang telah dihangatkan di dalam water bath 37oC.
Embrio yang didapat dari pembilasan bisa langsung di transfer ke dalam sapi resipien atau dibekukan untuk disimpan dan di trasnfer pada waktu lain. Klasifikasi embrio yang didapat pada pembilasan didasarkan pada penampilan umum morphologis dengan kriteria :
1. Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang diantisipasi (morula, blastosis dini atau blastosis) tidak cacat,
bentuk bundar spherical, ikatan blastomer erat dan kompak, bentuk simetris dan warna agak gelap.
2. Kualitas embrio B (baik)
Stadium perkembangan 16-32 sel, tampak sedikit cacat seperti keluarnya salah satu blastomer dari
ikatan dan bentuk asimetris.
3. Kualitas embrio C (cukup)
Stadium perkembangan agak retarded satu sampai dua hari dari stadium yang diantisipasi (8-16 sel),
cacat, beberapa blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar atau asimetris.
4. Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak di transfer.
Embrio yang mengalami hambatan perkembangan parah (2-8 sel), embrio mengalami degenerasi seluler,
ikatan-ikatan blastomer longgar sampai lepas atau ovum yang tidak terbuah (infertlized ova)
6. Transfer Embrio
Pada umumnya terdapat dua metode TE yang digunakan yaitu metode pembedahan dan metode tanpa pembedahan. Metode pembedahan dilakukan dengan jalan membuatan sayatan di daerah perut (laparotomi) baik sayatan sisi (flank incici) atau sayatan pada garis tengah perut (midle incici). Metode tanpa pembedahan dilakukan dengan memasukkan embrio kedalamstraw kemudian ditransfer kedalam uterus resipien dengan menggunakan cassoue gun insemination.

Manajemen Reproduksi Sapi Potong

Keberhasilan usaha pembibitan sapi potong salah satunya ditentukan oleh keberhasilan reproduksi. Apabila pengelolaan reproduksi ternak dilakukan dengan tepat maka akan menghasilkan kinerja reproduksi yang baik yaitu peningkatan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet. Akan tetapi, masalah yang masih sering dijumpai pada usaha peternakan rakyat hingga saat ini adalah kinerja reproduksi yang masih rendah ditandai dengan masih terjadi kawin berulang (S/C > 2) dan rendahnya angka kebuntingan (CR 16 bulan) serta berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi dan pendapatan petani dari usahaternak. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja reproduksi ternak diperlukan manajemen reproduksi yang tepat antara lain :
1) pengamatan birahi dan waktu kawin,
2) pola perkawinan yang tepat,
3) deteksi kebuntingan, dan
4) penanganan kelahiran.
Melalui usahatersebut diharapkan jumlah kelahiran pedet dan jumlah induk yang berkualitas meningkat yang
akhirnya berdampak pada meningkatnya pendapatan petani dari usaha pembibitan sapi potong.
Pengamatan Birahi & Waktu Kawin
Pengamatan birahi dilakukan pada setiap ekor induk sapi. Pengamatan dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung. Gejala atau tanda-tanda sapi betina birahi adalah:
1) gelisah dan terlihat sangat tidak tenang,
2) sering melenguh-lenguh,
3) mencoba menaiki sapi lain dan akan tetap diam apabila dinaiki sapi lain,
4) pangkal ekornya terangkat sedikit dan keluar lendir jernih transparan yg mengalir melalui vagina dan vulva,
5) vulva membengkak dan berwarna kemerah-merahan, dan
6) sapi menjadi diam dan nafsu makan berkurang.
Birahi berlangsung sekitar 18 jam dengan siklus rata-rata 21 hari.  Pengamatan birahimerupakan faktor yang paling penting , karena jika gejala birahi telah terlihat maka waktu perkawinan yang tepat dapat ditentukan. Waktu yang paling tepat untuk mengawinkan ternak adalah sembilan jam sejak ternak menujukan tanda birahi.
Pola Perkawinan

Perkawinan pada sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun kawin suntik atau inseminasi buatan (IB). Perkawinan alami merupakan perkawinan dengan cara mempertemukan pejantan dan induk secara langsung. Pola perkawinan secara alami ini memiliki empat manajemen perkawinan, yaitu:
1) perkawinan model kandang individu,
2) perkawinan model kandang kelompok/umbaran,
3) perkawinan model ranch/paddock, dan
4) perkawinan model padang penggembalaan.
Perkawinan melalui kawin suntik atau inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan cara memasukkan sperma atau semen yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu ke dalam saluran alat kelamin betina dengan metode dan alat khusus. Teknik IB dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan semen beku (frozen semen) dan semen cair (chilled semen).
Perkawinan dengan cara IB memiliki
beberapa keuntungan diantaranya yaitu:
a) menghindari penularan penyakit dari jantan ke betina,
b) sperma yg berasal dari pejantan dpt melayani banyak betina karena dapat diencerkan beberapa kali lipat,
c) mempermudah upaya persilangan antar ras,
d) mempercepat penyebaran bibit unggul,
e) pejantan yang tidak mampu mengawini dapat diambil spermanya, dan
f) memudahkan perkawinan ternak yang bertubuh kecil.
Deteksi Kebuntingan
Tanda-tanda umum terjadinya kebuntingan pada ternak adalah berahi berikutnya tidak timbul lagi, ternak lebih tenang, tidak suka dekat dengan pejantan, dan nafsu makan agak meningkat. Oleh karena itu, untuk mengetahui keberhasilan perkawinan perlu dilakukan pengamatan birahi lagi pada induk setelah 21 hari atau hari ke 18-23 dari perkawinan atau IB. siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan induk telah bunting.
Deteksi kebuntingan dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal setelah 60 hari sejak dikawinkan untuk meyakinkan bahwa ternak benar-benar bunting. Pemeriksaan palpasi rektal dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKB) yang ditunjuk Dinas setempat.
Kelahiran
Kebuntingan pada sapi terjadi selama 275-285 hari dengan rata-rata 280 hari. Induk yang akan melahirkan menunjukkan tandatanda seperti: vulva membengkak dan warna kemerahan, pinggul terasa lebih lentur, puting mulai membengkak dan sedikit meneteskan air susu, dan vulva akan mengeluarkan lendir saat mendekati kelahiran.
Beberapa persiapan yang perlu dilakukan apabila sapi memperlihatkan gejala-gejala akan melahirkan adalah:
a) pembersihan kandang untuk memudahkan pergerakan induk sebelum atau pada saat proses melahirkan,
b) lantai kandang diberi alas, berupa jerami padi kering sebagai alas agar cairan yang keluar selama proses kelahiran dapat terserap dengan cepat, dan
c) sediakan obat-obatan untuk mengantisipasi keadaan yang darurat.
Secara umum proses kelahiran akan terjadi maksimal 8jam, apabila melebihi waktu tersebut pedet belum juga keluar maka sebaiknya segera laporkan kepada Petugas Peternakan setempat.

Minggu, 16 Oktober 2011

FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN PADA SAPI


Pendahuluan
            Periode kebuntingan adalah periode dari bertemunya ovum (sel telur) dengan spermatozoa sampai partus (melahirkan) atau kelahiran individu muda. Selama periode ini sel-sel tunggal membelah dan berkembang menjadi organisasi yang lebih tinggi yaitu individu. Tingkat kematian pada periode ini, yaitu periode ovum, periode embrio, maupun fetus lebih tinggi dibanding setelah individu lahir. Keluarnya fetus  mati dan yang ukurannya dapat dikenali disebut abortus. Keluarnya fetus yang hidup dan pada waktunya disebut lahir. Lahirnya individu baru sebelum waktunya disebut prematur.
            Berdasarkan ukuran individu dan perkembangan jaringan serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga bagian yaitu  periode ovum / blastula, periode embrio / organogenesis dan periode fetus/ pertumbuhan fetus.

Tabel. Panjang badan fetus pada sapi dan sapi sesuai umur kebuntingan
      Kebuntingan

Sapi

Sapi
 (bulan)
(cm)
(cm)
---------------------------
-------------------------------
-------------------------------
1
0.8
09 - 1.0
2
6
4 – 7.5
3
15
10 – 14
4
28
15 – 25
5
40
25 – 34
                6
52
35 – 60
7
70
55 – 70
8
80
60 – 80
9
90
80 – 90
10

70 – 130
11

100 – 150
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

  Membrana Fetus dan Plasenta

1. Membran fetus

            Fungsi membran fetus adalah : melindungi fetus, sebagai sarana transport nutrisi dari induk ke fetus, sarana penampung sisa hasil metabolisme, tempat sintesa enzim dan hormone.  Membran atau selaput fetus terdiri dari : kantong kuning telur primitif, amnion,  alantois dan korion atau tropoblas
Amnion. Kantong amnion mengandung cairan amnion. Volume cairan amnion pada sapi : 2000-8000 . Sumber cairan amnion yaitu epitel amnion dan urine fetus (awalnya), air ludah dan sekresi nasopharynk.  Cairan ini membantu kelahiran karena licin seperti lendir
           Allantois. Kantong allantois berisi cairan allantois yang jernih seperti air, kekuningan dan mengandung albumin, fruktosa dan urea. Kantong allantoin : menyimpan zat buangan dari ginjal fetus. Volume cairan allantois akhir masa kebuntingan pada sapi : 4000-15000 ml.
 Korion. Korion merupakan lapisan terluar dari membrane fetus yang berhubungan langsung dengan endometrium.
2. Plasenta
            Plasenta terdiri dari dua bagian, yaitu Plasenta fetus (korio-alantois) disebut juga kotiledon dan plasenta induk (endometrium) disebut juga karunkula. Penggabungan karunkula dengan kotiledon disebut plasentom
-         Peranan / fungsi plasenta :mensintesis zat-zat yang diperlukan fetus, menghasilkan enzim dan hormon (P4 dan E) serta menyimpan dan mengkatabolisir zat-zat lain.
Tali Pusat
Tali pusat menghubungkan fetus dengan plasenta. Panjang tali pusat pada sapi sekitar 30 - 40 cm. Untuk lebih amannya agar tidak terjadi perdarahan dan infeksi maka tali pusat yang telah putus sebaiknya diligasi. Akibat panjang tali pusat, kadang-kadang tali pusat selama kebuntingan melingkari kepala, leher dan badan fetus sehingga menyebabkan kematian fetus akibat suplai darah ke fetus terganggu.
 Perubahan-perubahan Organ Reproduksi
Pada vulva dan Vagina, vulva semakin edematous dan lebih vaskuler. Mukosa vagina pucat dan likat kering selama kebuntingan dan menjadi edematous dan lembek pada akhir kebuntingan. Servik tertutup rapat-rapat. Kripta endoservikal bertambah jumlahnya dan menghasilkan mukus yang sangat kental dan menyumbat saluran servik (sehingga disebut sumbat servik) selama kebuntingan dan mencair segera sebelum partus.
Pada uterus, uterus membesar secara progresif sesuai usia kebuntingan. Pada ligamentum pelvis dan symphisis pubis terjadi relaksasi sejak awal kebuntingan dan meningkat secara progresif menjelang partus
 Bentuk Dan Lokasi Uterus Bunting
            Pada hewan piara uterus tertarik ke depan dan ke bawah masuk ruang abdomen. Pada ruminansia uterus bunting lokasinya disebelah kanan abdomen. Pada akhir kebuntingan, panjang fetus membentang dari diapragma sampai pelvis. Pada sapi bentuk uterusnya tubuler memanjang, sedangkan pada babi uterusnya sangat panjang terletak pada lantai abdomen.
Pada pertengahan kebuntingan posisi fetus terletak pada sembarang arah. Pada kebuntingan yang lanjut, posisi fetus adalah longitudinal terhadap sumbu panjang induk dalam presentasi anterior dengan kepala dan kedua kaki depannya mengarah ke servik. Sapi, babi, anjing dan kucing punggung mengarah ke dinding abdomen yang kemudian merotasi menjelang partus yaitu punggungnya mengarah punggung induk.
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan fetus seperti :
1.      Genetik : Spesies, bangsa, litter size dan genotipe
2.      Lingkungan seperti; Induk (nutrisi, size) dan plasenta ( aliran darah, ukuran }
3.      Hormon Fetus seperti  thyroid, insulin dan hormon pertumbuhan
 Kembar
Kebuntingan kembar kadang-kadang banyak terjadi pada hewan unipara. Pada sapi kejadiannya 0,5 – 4 %. Kejadian kembar identik (monozigotik) atau fratenal (dizigotik) adalah 4 – 6 % dan 93 – 95 %.
Kelahiran kembar pada hewan unipara tidak dikehendaki karena: Angka abortus yang tinggi; yaitu sekitar : 30 – 40 %, sering berakhir dengan prematur, anak-anaknya lebih kecil dan lemah, sering menyebabkan involusi tertunda, retensi plasenta, metritis septika, kemajiran sementara dan distokia, dan jarak beranak yang panjang
Secara garis besar penyebab kebuntingan kembar dibedakan atas: 1. Pengaruh lingkungan: a. musim (Biasanya dikaitkan dengan perbaikan makanan), b. usia induk ( 5 – 6 tahun biasanya kejadian kembar tinggi, 8 – 12 tahun kejadian kembar rendah), c. penjantan, d. pemberian FSH. 2. Herediter ( bangsa, perbedaan induk-pejantan dan turunannya)
 Lama Kebuntingan
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan yaitu :
1.      Faktor induk yang muda lebih pendek masa bunting dibanding yang tua.
2.      Faktor fetus: liter size,  jenis kelamin (jantan lebih lama)
3.      Faktor genetik: spesies, bangsa, dan genotif fetus
4.      Faktor lingkungan: nutrisi, temperatur dan musim
Kebuntingan yang diperpendek mungkin terjadi karena : Kembar, penyakit, kurang gizi dan hormonal (PGF2 alfa).  Kebuntingan yang diperpanjang dapat karena :  pemberian progesteron, dekapitasi fetus dan . abnormalitas fetus
 Lama Kemampuan Reproduksi
            Lama kemampuan reproduksi pada hewan piara pada dasarnya tergantung 2 faktor yaitu :
1.      Kehidupan ternak terhenti karena: kelemahan fisik akibat penyakit dan kekurangan makan karena   kehilangan gigi.
2.      Kegiatan reproduksi terhenti karena: organ reproduksi mengalami kerusakan.
3.      Lama Kemampuan reproduksi pada sapi perah sekitar 8 – 10 th dengan masa produksi 4 – 6 anak sedangkan pada sapi potong : 10 – 12 th dengan masa produksi 6 – 8 anak
 Evaluasi Hasil Inseminasi Buatan
 Penilaian atau evaluasi hasil inseminasi buatan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan inseminasi dan menentukan penyebab kegagalan dan keberhasilan menggunakan beberapa parameter. Hasil dari perhitungan evaluasi ini akan  memperoleh data yang akurat dengan syarat komponen-komponen yang terlibat dalam program tersebut antara lain faktor pejantan dengan semen yang kualitas baik dan seragam serta petugas/inseminator dengan kualifikasi yang baik juga. Apabila salah satu faktor tersebut tidak terpenuhi maka akan diperoleh data yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan. Evaluasi yang tidak benar akan berakibat kebijakan yang akan dan sedang dilakukan menjadi tidak optimal dan mengalami kerugian baik bagi peternak atau bagi pemerintah. Beberapa parameter/teknik evaluasi di bawah ini masinh kurang sempurna namun diharapkan dapat membantu memberikan gambaran secara praktis dan mudah dalam evaluasi hasil inseminasi buatan :
 1. NR (Non Return Rate)
Prosentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 s.d. 35 hari atau 60 s.d. 90 hari. Hewan yang tidak kembali diasumsikan hewan tersebut tidak estrus atau bunting, walaupun tidak menutup kemungkinan hewan yang mati, dijual, sakit dan tidak kembali dianggap bunting. Disamping itu metode ini masih sangat tergantung pada banyak hal antara lain metode pengukuran, kapan dilakukan inseminasi dan pernghitungan dan kondisi sapi sendiri seperti umur, musim, penyakit, semen, teknik perlakukan semen, kondisi betina, dll
Rumus yang dipakai adalah :
                                     Jumlah sapi yang di IB – jumlah sapi yang kembali di IB
NR                  =          ------------------------------------------------------------------------- x 100
                                                            Jumlah sapi yang di IB
 2. CR (Conception Rate)
Prosentase sapi yang bunting pada inseminasi pertama atau juga dikenal dengan angka konsepsi. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosa dari dokter hewan atau petugas lain yang berwenang pada umur 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi, rumus yang digunakan adalah :
                                     Jumlah betina bunting yg didiagnosa secara rektal
CR                   =          ---------------------------------------------------------------- x 100
                                    Jumlah seluruh betina yang diinseminasi
Angka konsepsi ditentukan tiga faktor yaitu , fertilitas pejantan, fertilitas betina dan inseminator.
 3. S/C (Service per Conception)
Rata-rata jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai S/C normal berkisar antara 1,6 s.d. 2,0 dengan syarat faktor pejantan, betina dan petugas dalam kondisi yang baik.
 4. Calving Rate
Prosentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu kali inseminasi. Cara ini digunakan karena sering terjadi tingginya angka kematian pada masa bunting dari induknya (abortus) dan kesulitan penentuan kebuntingan pada bunting umur muda, sehingga penilaian dilakukan sampai anak ersebut lahir. Disamping itu dapat digunakan untuk penilaian terhadap kemampuan dan kesanggupan induk dalam memelihara kebuntingan sampai partus.  
 PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN
 Melaksanakan diagnosa kebuntingan secara dini pada suatu peternakan sapi sangat dianjurkan dalam rangka manajemen peternakan. Pemeriksaan kebuntingan yang termurah dan praktis dapat dilakukan mulai 50 hari setelah perkawinan.
Secara garis besar ada dua indikasi dalam menentukan kebuntingan yaitu;
  1. Indikasi kebuntingan secara ekternal, meliputi;
    1. lewat catatan recording
    2. adanya anestrus
    3. pembesaran abdomen
    4. berat badan meningkat
    5. adanya gerakan fetus
    6. kelenjar air susu membesar
    7. gerakan sapi lambat
    8. bulunya mengkilat
  1. Indikasi kebuntingan secara internal
o       dapat dilakukan pemeriksaan secara per-rektal
o       cara ini lebih mudah, praktis, murah dan cepat
o       dapat dilakukan setelah 50 –60 hari perkawinan.
o       dengan cara ini dapat ditentukan adanya;
v     perubahan pada kornu uteri
v     adanya kantong amnion
v     adanya penggelinciran selaput janin
v     adanya fetus
v     adanya plasentom dan fremitus
 Dalam menentukan kebuntingan seringkali kita terkecoh, terutama bagi dokter hewan yang sudah lama tidak praktek atau yang belum berpengalaman. Differensial diagnosa kebuntingan yang sering adalah adanya tumor, mummifikasi fetus, pyometra, mukometra.
Diagnosa kebuntingan mempunyai arti yang penting dalam ;
a)      menentukan bunting tidaknya hewan
b)      menanggulangi problem infertilitas seawal mungkin
c)      meningkatkan efisiensi managemen
 Metode diagnosa kebuntingan dengan cara;
a)      deteksi fetus dengan per-rektal (PKB) atau dengan USG
b)      menentukan perubahan fisik tubuh induk
c)      menentukan perubahan endokrin terutama progesteron (P4)

Diagnosa kebuntingan

1.      Pada sapi, umumnya dengan PKB (50 – 60 hari setelah perkawinan) atau dapat dengan  assay P4 (hari ke 21 – 24 sesudah kawin)
2.      Pada kuda, umumnya dengan PKB atau dapat dengan bioassay (hari ke 40 – 120) atau dapat dengan assay kimia E (hari ke 150 – 250)
3.      Pada babi, dapat dengan PKB, atau dengan teknik ultrasonik (gelombang suara) dan dikenal dengan efek doppler (dilakukan pada hari ke 30), atau dengan histologi vagina (95 % ketepatannya)
4.      Pada kambing dan domba, dapat dengan radiografi (setelah hari ke 55), ultrasonik (hari ke 60), laparatomi, pemeriksaan abdomen dan  perubahan fisik induk
5.      Pada anjing, dapat dengan palpasi abdomen (setelah hari ke 40), ultrasonik -¾® mulai hari ke 30, radiografi, pemeriksaan hematologi mulai minggu ke 3 (eritrosit, Hb dan PCV menururun dibanding normal

Rabu, 12 Oktober 2011

Susu oh susu......

Orang Indonesia lebih mengenal susu bubuk padahal proses pengolahan susu bubuk- melalui pengeringan dengan waktu yang cukup lama-sangat berpengaruh terhadap mutu sensoris dan gizi, terutama vitamin dan protein.
Oleh karena itu masyarakat di negara maju sekarang lebih memilih susu segar. Susu disebut-sebut sebagai makanan yang hampir sempurna karena mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim-enzim, gaas serta vitamin.
Bisa dikatakan kandungan yang ada pada susu hewan mamalia khususnya kambing, sapi hampir mencukupi seluruh kebutuhan tubuh manusia. Pasalnya jumlah kandungan zat-zat tersebut begitu mamadai.
Tentu kandungan zat-zat secara utuh itu ada pada susu segar. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) susu segar itu merupakan cairan yang berasal dari kambing, sapi sehat dan bersih yang diperoleh dari cara pemerahan yang benar serta kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah suatu apapun dan belum mendapat perlakuan apa pun.
Namun dalam praktiknya, menurut Prof. Made Astawan, pakar teknologi pangan dan gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, untuk mendapatkan susu sesuai definisi SNI tidak mudah. Apalagi di kalangan masyarakat kita cenderung lebih familiar dengan produk susu olahan baik bentuk cair maupun padat. Itu pun tingkat konsumsinya masih relatif rendah.
"Bandingkan saja dengan India, tingkat konsumsi susunya jauh lebih tinggi yakni mencapai 43.929,2 juta liter susu cair per tahun dan 1.173 juta liter susu bubuk per tahun," kata Astawan pada presentasi pentingnya mengonsumi susu cair di pabrik Ultrajaya Tbk belum lama ini.
Sejumlah riset pada 2004 melaporkan konsumsi susu di Indonesia baru mencapai tujuh liter per kapita per tahun atau baru 197, 5 juta liter per tahun untuk susu cair dan 625,7 juta liter susu bubuk. Dari data itu pun terlihat bahwa komsumsi susu bubuk di Indonesia sangat tinggi dibanding susu cair.
Padahal kalau mau menilik lebih jauh masyarakat negeri maju seperti Amerika sudah banyak yang meninggalkan konsumsi susu bubuk dan beralih ke susu cair. Riset Canadian 2004 melaporkan konsumsi susu penduduk Amerika sudah mencapai 100 liter per kapita per tahun atau 24.634,7 juta liter susu cair per tahun dan 59,5 juta liter susu bubuk per tahun.
Begitu pula Australia yang sudah mencapai 90 liter perkapita per tahun. Sementara China 11.256 juta liter per tahun. Memang susu bubuk itu sendiri asalnya juga dari susu segar atau rekombinasi dengan zat lain seperti lemak, dan protein yang dikeringkan.
Namun proses pengolahan susu bubuk yang umumnya melalui pengeringan dengan waktu yang cukup lama sangat berpengaruh terhadap mutu sensoris dan gizi terutama vitamin dan protein. Menurut Astawan kerusakan protein bisa berupa terbentuknya pigmen coklat (melonodin) akibat reaksi Maillard.
Reaksi ini biasanya terlihat pada pencoklatan non enzimatik yang terjadi antara gula dan protein susu akibat proses pemanasan yang berlangsung cukup lama. Pemanasan seperti dapat menyebabkan penurunan daya cerna protein.
Pemanasan susu dengan suhu tinggi dalam waktu lama juga dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam-asam amino, yaitu perubahan konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D. Padahal tubuh manusia hanya dapat menggunakan asam amino dalam bentuk L.
Karena itulah banyak ahli gizi dunia yang menyarankan agar kembali mengkonsumsi susu secara alamiah atau susu segar. Hanya sayangnya susu segar yang diperoleh dari pemerahan sapi tidak tahan lama.
Rata-rata dalam waktu enam jam kondisi susu akan rusak karena kontiminasi dengan udara yang memudahnya munculnya bakteri pembusuk.
Setidaknya dengan proses pengolahan susu segar seperti itu, kata dia, dapat meminimalisasi kerusakan gizi yang terkandung di dalam bahan baku susu bersangkutan. 
 
Pasteurisasi
Pengolahan susu secara pasteurisasi itu biasanya dengan memberi perlakuan panas sekitar 63-72 derajat Celcius selama 15 detik. Tujuannya membunuh bakteri patogen. Jika Anda penggemar susu ini mesti konsisten dalam penyimpanannya.
Susu hasil pasteurisasi ini hanya memiliki umur simpan sekitar 14 hari dan harus disimpan pada susu rendah (5-7 derajat celcius).
Untuk susu UHT (ultra high temperature), pengolahan susu segar ini menggunakan pemanasan suhu tinggi (135-145 derajat celcius) dalam waktu yang relatif singakt 2-5 detik. Porses pemasanan seperti itu selain dapat membunuh seluruh mikroorganisme (bakteri pembusuk maupun patogen) dan spora (jamur) juga untuk mencegah kerusakan nilai gizi.
Bahkan dengan proses UHT, warna, aroma dan rasa relatif tidak berubah dari aslinya sebagai susu segar.
Di Indonesia sendiri meski belum sesemarak India dan Vietnam namun sejak 1975-an susu segar proses UHT sudah banyak dijumpai di pasaran. Salah satunya adalah PT Ultrajaya Milk Industry Tbk. dengan kapasitas terpasang 100 juta liter per tahun.
"Produksi susu ini 100% dari bahan baku susu segar yang diperoleh dari peternak susu di Jawa Barat. Mereka tergabung dalam satu wadah koperasi," ujar M. Muhthasawwar, senior marketing manager PT Ultrajaya Milk Industry Tbk.
Perjalanan dari koperasi ke pabrik hanya membutuhkan waktu kurang dari dua jam sehingga tingkat kesegaranya masih tetap terjaga. Begitu sampai di pabrik langsung diolah dengan menggunakan teknologi sterilisasi UHT.
Teknologi dengan sistem komputer dan robot siap memanaskan susu selama empat detik dengan suhu 140 derajat Celcius. Pemanasan yang tinggi dan singkat hanya untuk mematikan semua bakteri tanpa merusak kesegaran dan kualitas gizi susu segarnya.
Setelah itu susu dikemas dalam kemasan aseptik yakni menggunakan kemasan multilapis terdiri dari kertas, plastik, polyethylene dan aluminium foil agar kedap udara dan cahaya. Kemasan tersebut mampu melindungi kualitas susu segar dari pengaruh sinar ultraviolet hingga 10 bulan.
Dengan begitu susu cair UHT tanpa bahan pengawet ini bisa bertahan lama setidaknya sampai enam bulan, dengan catatan kemasanya masih utuh tidak cacat.
Selain itu susu ini juga bisa dikonsumsi orang dewasa maupun anak-anak usia satu tahun ke atas.

Tepung Tulang

TEPUNG TULANG
PENDAHULUAN
Tepung  tulang  adalah  bahan  hasil  penggilingan  tulang     yang telah dieks trak gelatinnya.Produk ini digunakan untuk ba han baku pakan yang merupakan sumber mineral (teruta ma kalsium) dan sedikit asam amino.
Pembuatan tepung tulang merupakan upaya untuk mendaya gunakan limbah tulang yang biasanya tidak terpakai dan dibu ang di rumah pemotongan hewan. Hasil-ikutan  (by-products)  ternak  merupakan salah  satu  potensi  dari  subsektor  peter nakan  yang sampai saat ini masih  belum banyak  dimanfaatkan, khusus nya  untuk  industri  pangan.  Tulang,  tulang rawan  dan daging  dari  sisa  deboning  di  industri pangan  hasil  ternak  dan  rumah  pemoto ngan ayam adalah contoh hasil-ikutan  ternak  yang cukup besar peluangnya  untuk  dapat diolah  kembali  menjadi produk  baru  yang mempunyai nilai ekonomis  lebih tinggi. Tepung  tulang  berbentuk  serpihan  (tepung)  berwarna  coklat  dengan  teks tur yang kasar jika dirasakan, dengan aroma khas seperti daging sapi tapi ada juga yang tidak berbau. Sekilas memang hampir mi rip dengan  tepung MBM  tetapi kandungan nutrisiyang  dimiliki  jelas  berbeda.  Dalam  klasifikasi  bahan  pakan  tepung  tulang terma suk dalam kelas VI yang merupakan sumber mineral. Karena  tulang sapi kaya akan kalsium walaupun sedikit mengandung protein.
Nutrisi yang Terkandung
Tepung ikan memiliki kandungan gizi:
·        Protein     = 25,54 %,
·        Lemak      =   3,80 %,
·        Abu         = 61,60 %,
·        Serat        =   1,80 %,
·        Air           =   5,52 %.
Dengan abu yang  tinggi, sudah pasti kandungan mineralnya  juga  tinggi
MANFAAT TEPUNG TULANG
Dalam pembuatan pakan tepung tulang tidak terlalu banyak digunakan, dengankata lain tepung tulang merupakan suatu pelengkap dalam pembuatan pakan gunamelengkapi mineral yang ada dalam pakan. Begitu pula dalam pembuatan pakan  ikan,penggunaan  tepung  tulang biasa digunakan sebagai pendamping bagi  tepung  ikan yangkaya protein. Karena mineral merupakan trace element yang tidak dibutuhkan terlalubanyak tetapi harus ada dalam ransum pakan. Dilihat  dari  kandungan  nutrisinya,tepung  tulang  banyak  mengandung  kalsium.  Sehingga  manfaat  dari  tepung tulangtidak lepas dari peranan kalsium, yaitu berperan dalam pembentukan tulang, sisik sertasirip ikan serta menjaga dari kekeroposan akibat asupan kandungan mineral yang minim. 
Pembuatan tepung tulang
1.  BAHAN
·    Tulang
·    Larutan kapur 10 %.
Cara membuat 1 m3 larutan kapur 10% adalah dengan memasukkan 100 kg kapur ke dalam bak, kemudian menambahkan airsampai volumenya menjadi 1 m3. Campuran ini diaduk-aduk sampai kapurnya larut.
2.       PERALATAN
1.    Keranjang & semprotan air:
     Berfungsi untuk meletakkan tulang yang dicuci dengan  semprotan  air. Dasar  wadah  berlobang-lobang untuk meniriskan air.
   Wadah  perendaman : 
Wadah  ini digunakan  sebagai tempat  merendam serpihan tulang, dapat berupa bak semen, bak serat gelas (fiber glass), baskom plastik, atau ember plastik.
3.    Mesin penggiling tulang. Alat ini digunakan untuk menggiling tulang hingga menjadi sepihan dengan ukuran 1~3 cm.
4.  Palu dan kayu landasan. Alat ini digunakan jika tidak tersedia mesinpenggiling tulang.
5.   Wadah perebusan. Alat ini digunakan untuk merebus tulang. Drum bekasyang dipotong dua dapat digunakan untuk keperluan ini.
6.   Wadah ekstraksi gelatin. Alat ini digunakan untuk merendam tulang padasuhu panas setelah tulang tersebut direndam dengan larutan kapur. Wadah initerbuat dari logam tahan karat, seperti aluminium dan stainless steel.
7.   Wadah penguapan larutan gelatin. Wadah ini digunakan untuk penguapanlarutan gelatin. Wadah ini terbuat dari logam tahan karat, seperti aluminiumdan stainless steel. Bentuknya berupa bak dangkal dengan permukaan luas.
8.   Tungku atau kompor
9.  Cetakan. Cetakan terbuat dari plat aluminium atau  stainless steel yangbersekat-sekat.
3.       CARA PEMBUATAN
1.     Tulang  dipotong  sepanjang  5-10  cm,  direbus  selama  2-4  jam  dengansuhu  100 °  C,  kemudian  dihancurkan  hingga menjadi serpihan-serpihansepanjang 1-3 cm.
2.     Serpihan tulang direndam dalam air kapur 10% selama 4-5 minggu dan dicucidengan air tawar.
3.     Pemisahan selatin dengan jalan pemanasan 3 tahap, yaitu pada suhu 60 ° Cselama 4 jam, suhu 70 ° C selama 4 jam, dan 100 ° C selama 5 jam.
4.     Pemrosesan selatin.
5.     Tulang dikeringkan pada suhu 100 ° C, sampai kadar airnya tinggal 5% dan digiling hingga menjadi tepung.
6.     Pengemasan dan penyimpanan.
 
Pemotongan ternak selain menghasilkan karkas juga menghasil kan sejumlah hasi likutan dan limbah dalam jumlah yang besar. Tulang merupakan hasil ikutan yangjumlahnya cukup besar. Tulang dapat diolah menjadi tepung tulang yang berguna untuk bahan tambahan pupuk padat dan cair organik. Seperti halnya tepung darah sebagai sumber N, tepung tulang juga dapat berfungsi sebagai sumber Posfor (P) dan Kalium (K).Proses pembuatan tepung tulang secara sederhana dapat dilakukan dengan membakar tulang hingga remah dan kemudian dilakukan penggilingan. Tulang merupakan salah satu tenunan pengikat. Tulang terdiri dari sel, serat-seratdan bahan pengisi. Bahan pengisi pada tulang adalah protein dan garam- garam mineral,seperti kalsium fosfat 58,3%, kalsium karbo nat 1,0%, magnesium fosfat 2,1%, kalsiumflorida 1.9% dan protein 30,6%.Tulang mengandung kurang lebih 50% air dan 15% sum sum merah dan kuning.Sumsum tulang terdiri dari lemak sebesar 96%. Tulang yang telah diambil lemaknyaterdiri  dari  bahan  orga nik  dan  garam-garam  anorganik  dalam  perbandingan 1:2.
Penghilangan zat organik oleh panas tidak menyebabkan perubahan struktur tulang secara keseluruhan, tetapi akan mengurangi berat tulang
Berdasarkan asalnya, tulang dapat dibedakan menjadi dua kategori :
1. Collected bone
2. Slaugterhouse bone
Collected bone memiliki ukuran bervariasi, banyak mengandung daging, kadar lemak tinggi (sering terhidrolisia sehingga mutu gelatin yang dihasilkan rendah). Jenis ini lebihcocok untuk pembuatan bahan perekat dan dapat diperoleh dari penjualan daging dipasar.
Jenis Slaugterhouse bone diperoleh dari tempat pemotongan hewan langsung mendapat perlakuan sebelum digunakan lebih lanjut, sehingga sedikit mengalami kontaminasi. Jenis ini cocok untuk bahan baku pembuatan gelatin (suatu hidrokoloid yang dapatdigunakan sebagai gelling, bahan pengental atau penstabil).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Total Tayangan Halaman

Copyrights  © edna disnak 2012 and introducing Panasonic S30

Back to TOP